BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Angka Kematian Ibu berguna untuk menggambarkan status gizi dan kesehatan
ibu, kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan terutama
untuk ibu hamil, melahirkan dan masa nifas (Permata, 2002). Derajat kesehatan
penduduk secara optimal dapat pula diukur dengan indikator antara lain angka
kematian ibu, angka kematian bayi, dan tingkat kesuburan penduduk yang sangat
erat kaitannya dengan pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) dan KB
(Keluarga Berencana) (Ambarwati, 2006).
Berdasarkan data WHO (1999) sekitar 80 % kematian maternal merupakan
akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan dan setelah
melahirkan (Yulianto, 2004). Di dunia, setiap menit seorang perempuan
meninggal karena komplikasi terkait dengan kehamilan dan persalinan. Di
Indonesia, dua orang ibu meninggal setiap jam karena kehamilan, persalinan dan
nifas (Universitas Indonesia, 2005). Berdasarkan SKRT (2003), Angka Kematian
Ibu (AKI) Indonesia mencapai 307/ 100.000 kelahiran hidup, hal ini berbeda
sekali dengan Singapura yang berhasil menekan angka kematian ibu menjadi 6 per
seratus ribu kelahiran hidup saja (Depkes, 1998). Data lain menyebutkan bahwa
AKI di Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negaranegara
anggota ASEAN. Risiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia
adalah 1 dari 65, sedangkan di Thailand menunjukkan angka 1 dari 1.100
(Bappenas, 2007).
Dalam menanggulangi hal tersebut, berbagai usaha untuk menurunkan AKI
telah dilakukan, diantaranya: 1) Program
safe motherhood (1998); 2) Gerakan
Sayang Ibu (1996); 3) Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman/ Making
Pragnancy Saver (MPS) dan 4) Kerjasama POGI, IDAI, IDI, dan Depkes 2002
oleh yayasan Bina Pustaka yang menerbitkan Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Berbagai program itu telah dilaksanakan akan
tetapi pada kenyataannya AKI baru bisa diturunkan menjadi 307/ 100.000 pada
tahun 2003. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa angka tersebut
mengalami penurunan lagi menjadi 290,8 per seratus ribu kelahiran hidup
pada tahun 2005 (Jakir, 2006).
Pada tahun 2003 angka kematian ibu di Yogyakarta mencapai 110/100.000
kelahiran hidup. Data yang tercatat dari Dinas Kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta bahwa kematian maternal tahun 2004 di Yogyakarta terdapat 33 kasus
yaitu Kotamadya Yogyakarta 5 kasus, Bantul 8 kasus, Kulonprogo 4 kasus,
Gunungkidul 4 kasus dan Sleman 12 kasus (Purwantiningsih, 2006). Data tersebut
semakin menguatkan perlunya penanganan serius bagi kematian maternal.
Berbagai faktor penyebab tingginya AKI seringkali dijumpai secara
bersamaan dan tumpang tindih. Salah satu faktor yang menyebabkan AKI masih
tinggi diantaranya adalah mutu pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ini
berkaitan langsung dengan penanganan kasus AKI yang dinamakan trias
terlambat, diantaranya:
1. Terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan, persalinan dan nifas, serta
dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu
dan neonatal.
2. Terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi geografis dan
sulitnya trasportasi.
3. Terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai di tempat
rujukan.
Telah diketahui bahwa 3 penyebab utama kematian ibu di bidang obstetri
adalah perdarahan 45%, infeksi 15 % dan hipertensi dalam kehamilan 13 %
(SKRT 1995). Sejalan dengan data tersebut, kebanyakan kematian maternal terjadi
3 hari sehabis melahirkan karena terserang infeksi. Oleh karena itu, baik ibu,
keluarga maupun tenaga kesehatan perlu belajar hal-hal yang berkaitan dengan
komplikasi postpartum ini (Roeshadi, 2006).
WHO telah merekomendasikan program Making Pregnancy Safer yang salah
satu fokus penanganannya pada pencegahan perdarahan postpartum. Perdarahan
postpartum ini adalah penyebab utama kematian maternal. Tidak kurang
seperempat dari seluruh kematian maternal disebabkan oleh perdarahan (WHO,
2006). Di negara berkembang, perempuan cenderung lebih mendapat perawatan
antenatal atau perawatan sebelum melahirkan dibandingkan mendapat perawatan
kebidanan yang seharusnya diterima selama persalinan dan pasca persalinan.
Nyatanya, lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam waktu 24
jam setelah melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan
darah. Perdarahan hebat adalah penyebab paling utama dari kematian ibu di
seluruh dunia. Sebenarnya perdarahan postpartum dini seringkali dapat ditangani
dengan perawatan dasar, namun keterlambatan dapat mengakibatkan komplikasi
lebih lanjut sehingga memerlukan pelayanan yang komperhensif. Pencegahan,
diagnosis dan penanganan pada jam-jam pertama sangatlah penting untuk
mengatasi perdarahan. Disamping itu risiko-risiko lain seperti infeksi dan
komplikasi juga dapat mengancam jiwa (Shane, 2002).
Periode postpartum merupakan masa untuk beradaptasi dengan perubahan
fisik dan psikologis. Serta salah satu masa untuk mengadopsi peran ibu (Bobak et
al, 2004). Mengingat pentingnya adaptasi pada masa ini maka perawat
diharapkan bisa memberi kontribusi dengan menyediakan pelayanan keperawatan
yang mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan pada ibu postpartum ini. Salah
satu cara yang bisa dilakukan perawat adalah dengan mengoptimalkan fungsinya
sebagai edukator dengan memberikan pengetahuan tentang perawatan ibu dan
bayi kepada ibu postpartum. Permasalahan ibu postpartum ini sebetulnya bisa
dicegah, salah satunya dengan memberikan penyuluhan yang berkesinambungan
pada ibu postpartum. Kurangnya pengetahuan ibu postpartum tentang perawatan
ibu dan bayi, dapat ditopang dengan meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan
khususnya perawat dan bidan tentang asuhan keperawatan ibu postpartum.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap perawat dan bidan
di bangsal Anggrek 2 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tanggal 30 April 2007
bahwa program pelatihan ibu postpartum jarang dilaksanakan dan tidak dilakukan
secara berkesinambungan karena jumlah perawat yang tidak memadai dan beban
kerja yang ada. RSUP Dr. Sardjito sebetulnya pernah mengadakan program
pelatihan yang melibatkan ibu postpartum yaitu program pelatihan breast care.
Akan tetapi program tersebut sudah tidak dilaksanakan sejak tiga tahun yang lalu.
Menurut Notoatmojo (1997) perubahan perilaku baru/ adopsi perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya
perilaku yang tidak didasarkan oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan
berlangsung lama. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang salah satunya adalah media. Media yang memiliki jumlah dan kualitas
yang cukup memberi kesempatan pembelajar untuk menigkatkan pemahaman
dengan cukup baik. Selain itu media yang ditawarkan harus memperhatikan minat
yang beragam dan bahan utama tersebut tidak boleh dinomorduakan (Suparno,
2001).
Salah satu media yang menjanjikan berbagai kelebihan adalah penggunaan
video pendidikan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Hal ini sesuai
dengan berbagai alasan sebagai berikut:
1. Video mampu menggambarkan keadaan nyata/ menyerupai keadaan
sebenarnya.
2. Video bersifat dinamis sehingga merangsang rasa dan mudah memberi kesan.
3. Video memungkinkan penerangan berulang-ulang.
4. Penggunaan media ini juga mempercepat kadar pemahaman seseorang.
5. Video mampu meraih emosi seseorang sehingga seseorang tidak langsung
mengubah sikap seseorang dengan lebih mudah.
Disamping itu percepatan pembelajaran dapat pula diupayakan dengan
menggunakan sistem modul. Modul sebagai alat dan sarana pembelajaran yang
berisi materi, metode, dan cara yang sistematis untuk mencapai kompetensi yang
diharapkan (Depdiknas, 2003)
Berawal dari latar belakang ini peneliti termotivasi untuk turut serta
membantu peningkatan pengetahuan tenaga kesehatan khususnya perawat dan
bidan dengan melakukan penelitian "Pengaruh Penggunaan Media Bantu VCD
dan Modul terhadap Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Asuhan Keperawatan
pada Ibu Postpartum di Bangsal Anggrek 2 RSUP Dr. Sardjito".